powered by Google

Roemahkoe: Solo’s Must Visit

Sunday, October 24, 2010

Travel Notes
Roemahkoe: Solo’s Must Visit

Text and Photos by Teguh Sudarisman


So while I was waiting for the Solo Batik Carnival opening at two that afternoon, I was browsing through the Solo Tourism Catalog a friend had given me to see if there was something I could do to fill the next few hours. Near the end of the catalog, my eye lit upon "Roemahkoe Bed & Breakfast". The only information in the catalog was an address; no phone number. No problem; I asked a becak driver, he knew where it was, and he took me there.

The front façade of the house, with two round main pillars on either side with two curved lines at the top, immediately reminded me of something: obviously this was an art deco style house, built some time between 1920 and 1940.

So I went into the lobby, and was I impressed! The half-open lobby combined solid walls decorated with lovely stained glass ornaments with a tinge of yellow at the top, and elements of dark brown teak, giving a strong Javanese flavor.

From a poster in the lobby, I learned that this house, standing on 2,000 square meters of land, was built in 1938. Originally it belonged to Ibu Hajjah Pusposumarto, a Laweyan batik trader, and eventually it passed to Nina Akbar Tanjung. In 2000, Nina turned the house into a restaurant/bed & breakfast – a concept popular in Britain since World War II – maintaining its original historic décor.

"Everything here – the tiles, the walls, the wood, the stained glass – is original," explained Sugi, who has been entrusted to manage the place, along with a staff of eleven. "If a piece of glass gets broken, the replacement has to be identical, or as near as possible to the original." I glanced at the tiles below my feet and was entranced. The floor was composed of 20x20 cm pink tiles with a kind of polka-dot pattern like splashes of water. In some of the corners, this pattern was surrounded by a line of yellow tiles of the same size and pattern. Charming!

The middle part of the house, which is separated from the lobby by wooden doors with stained glass decoration, is on a slightly higher level, with solid teak pillars on either side, and a bridal dais in the middle. Not surprising: Roemahkoe (the old spelling for rumahku, meaning "my house") is also used as a venue for wedding receptions, and can accommodate up to 400 guests for a standing party. "There's no need to decorate the dais, because it's already beautiful by itself," Sugi said, adding a note of promotion; but it's true.
Behind the dais is a private room containing wardrobes, an old piano, and silver jewelry and accessories.




A wooden door and four wood-framed windows, each with antique hinges, leads to the middle section along the left and right sides of the house, which form an open U-shaped corridor that also runs around the back part of the house. The corridor is adorned with gay, elegant paintings, contrasting with old photos and antique tables and chairs. From here, after passing through a small garden with a carp pond with sounds of burbling water, I came to the guest rooms, which also form a U shape surrounding the main house.

The house has ten deluxe type rooms (at Rp 375,000 per night), one junior suite (Rp 430,000 per night), and two royal suites (Rp 645,000 per night). Though I couldn't peek into the royal suites because they were occupied, I was certainly impressed by the deluxe room I saw: a wooden bed on an elevated platform with plywood siding; an ornamental mosquito net above it; antique photos and furniture; and wood-framed windows with colored stained glass. Well, what could be more delightful than a wooden window with stained glass? Even five-star hotels don't offer such luxury.

Laras Restaurant, behind the main house, attracted my interest. Three women were chatting and enjoying their meal by a wall with a large painting. Though there is also an international menu, I chose from the traditional dishes that are the restaurant's signature: nasi jemblung, wedang cemol, es cincau kawista, and pisang owol. Bonus: a basket of krupuk gendar.

The nasi jemblung was served in a unique presentation: upon a banana leaf, the rice is laid out like a wheel, with beef tongue semur in the middle with a rich, thick sauce. Sambal (chili paste), lalapan (raw vegetable salad) and krupuk rambak (buffalo skin crackers) completed the meal.

Wedang cemol is a hot drink made with ginger, sugar syrup, peanuts, young coconut, slices of bread, and kolang-kaling (sugar palm fruits). The strong ginger aroma reminded me of Indian cooking. "That's because we roast the ginger first and then pound it before it's boiled," Sugi explained.

The es cincau (iced drink with plant gelatin) looked standard, but tasted different from usual because it uses kawista syrup imported from Rembang, in the northeast part of Central Java. And then the ultimate desert: pisang cemol, contrasting hot and cold. Four hot roast bananas covered in chocolate sprinkles, served with strawberry ice cream. Hmmm….

You can sit wherever you like to enjoy these dishes. If you come on a Thursday or Saturday night, your dinner will be even more memorable; Thursday nights they have live music, and Saturday nights, live gamelan. Guests can also learn to play gamelan, make batik, or read the primbon (Javanese horoscope).

And how much did I pay for the meal? Only Rp 63,000!
If I hadn't been assigned to cover the batik carnival, I certainly would have stayed longer, enjoying the beauty of this great house. I made a note to myself as the becak was taking me away from Roemahkoe: next time I come to Solo, I must stay here.


Roemahkoe Bed & Breakfast
Jl. Dr. Rajiman No. 501 Laweyan, Solo 57148
Tel: 0271-714024, Fax: 0271-720097

Read more...

Solo, The Spirit of Java

“Solo The Spirit of Java” mengandung arti bahwa “Solo merupakan jiwanya Jawa”. Bisa dikatakan bahwa Solo merupakan representasi dari Jawa. Kata “Jawa” pun seringkali diidentikkan dengan Jawa Tengah terutama daerah Solo dan sekitarnya. Huruf “O” pertama dalam kata “Solo The Spirit of Java” diambil dari bentuk dasar motif batik yang menjadi salah satu ikon utama kota Solo. Logo ini sekaligus juga mencerminkan bahwa merupakan kota seni dan budaya.

Kota Solo atau Surakarta terletak di pertemuan antara jalur selatan Jawa dan jalur Semarang Madiun, yang menjadikan posisinya yang strategis sebagai kota transit. Jalur kereta api dari jalur utara dan jalur selatan Jawa juga terhubung di kota ini. Jarak antara Yogyakarta dengan Solo hanya sekitar satu jam menggunakan kendaraan maupun kereta api.

Sebagai kota yang sudah berusia hampir 250 tahun, Surakarta memiliki banyak kawasan dengan situs bangunan tua bersejarah. Selain bangunan tua yang terpencar dan berserakan di berbagai lokasi, ada juga yang terkumpul di sekian lokasi sehingga membentuk beberapa kawasan kota tua, dengan latar belakang sosialnya masing-masing.

Peninggalan sejarah dan kentalnya kebudayaan Jawa di kota Solo ini masih tampak jelas di setiap pojokan kota. Gapura khas keraton dengan lambang Keraton Surakarta “Radya Laksana” terdapat di beberapa lokasi, terutama di wilayah yang berdekatan dengan Keraton Surakarta. Radya Laksana sebagai lambang atau simbol Karaton Surakarta memiliki makna simbolis dan makna filosofis dalam kehidupan Karaton khususnya dan kehidupan masyarakat pada umumnya.

Radya Laksana dapat diartikan Jalan Negara dalam arti konsep-konsep untuk menjalankan negara yaitu Karaton Surakarta Hadiningrat. Selain secara harafiah, Radya Laksana memiliki makna sebagai ajaran dan patokan bagi siapapun yang memiliki watak Jiwa Ratu, Jiwa Santana, Jiwa Abdidalem, dan Kawuladalem yang berklebat ke Karaton yang berdasarkan pada Jiwa Budaya Jawa. Radya adalah negara. Yang disebut negara adalah bersatunya Ratu, putra Santana, Abdi dalem, kawula bangunan karaton, pemerintahan, daerah dan Pepundhen (segala sesuatu yang dihormati). Adapun Laksana berarti tindakan. Tindakan yang didasarkan pada Lahir dan Batin. Tindakan dalam bentuk batiniah harus dapat tercermin dalam wujud tindakan lahiriah.

Museum tentang sejarah dan peninggalan purbakala khas Kasunanan Surakarta juga terdapat di areal komplek keraton, salah satunya yang terkenal dan masih sering digunakan pada upacara adat Grebekan 1 Syawal kalender Islam adalah Kereta Kencana. Keunikan dari keraton ini adalah di kawasan Solo utara, yang ditata oleh pihak Mangkunagaran, dapat ditemui beberapa jejak arsitektur dengan sentuhan Eropa. Hal ini tampak dengan adanya patung-patung berornamen eropa. Ini merupakan salah satu bukti kejayaan Keraton dengan adanya hubungan diplomatik antara pihak keraton dengan pemerintah eropa pada masa dahulu.

Solo identik dengan batik sebagai pakaian khas kebesaran dan kebanggaan masyarakatnya. Batik tulis solo yang berkualitas halus di ekspor hingga ke mancanegara dan menjadi lambang khas Indonesia. Pedagang batik Jawa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak mendirikan usaha dan tempat tinggal di kawasan Laweyan (sekarang mencakup Kampung Laweyan, Tegalsari, Tegalayu, Tegalrejo, Sondakan, Batikan, dan Jongke). Tak jauh dari lokasi keraton, terdapat pasar tradisional Klewer. Pasar Klewer merupakan salah satu pasar batik terbesar di Indonesia. Di pasar ini kita dapat membeli aneka kerajinan dan oleh-oleh khas kota Surakarta dengan harga yang terjangkau dan dapat di tawar.

Bahasa daerah yang digunakan di Surakarta adalah bahasa jawa dialek Surakarta. Dialek ini berbeda sedikit dengan dialek-dialek Jawa yang digunakan di kota-kota lain seperti di Semarang maupun Surabaya. Perbedaannya berupa kosakata yang digunakan, ngoko (kasar), karma (halus), dan intonasinya. Bahasa Jawa dari Surakarta digunakan sebagai standar bahasa Jawa nasional (dan internasional, seperti di Suriname).

Beberapa makanan khas Surakarta antara lain adalah Nasi liwet, Nasi timlo, Nasi gudeg (yang lebih dikenal berasal dari Yogyakarta), Serabi Notosuman, Intip, Bakpia Balong, dan Jenang dodol khas Solo. Galabo adalah lokasi yang tepat untuk mencicipi makanan khas kota Solo dengan 75 aneka rasa makanan. Galabo ini adalah salah satu program pemerintah daerah Surakarta untuk menarik minat wisatawan pecinta kuliner. Galabo terletak tidak jauh dari lokasi Keraton dan dibuka khusus hanya untuk malam hari. Berbagai hidangan khas jawa dan Indonesia tersedia di sini dengan harga yang relative murah dan citarasa yang nikmat.

Untuk Anda pecinta seni dan budaya, pagelaran wayang Orang dapat disaksikan di taman hiburan Sriwedari pada malam harinya. Letaknya tidak jauh dari Keraton Surakarta dan dapat menggunakan becak untuk menuju ke lokasi tersebut. Wayang dimainkan oleh orang dengan nyayian dan tarian serta dialog yang lucu diiringi dengan gamelan. Cerita Wayang Orang diambil dari episode Kitab Mahabharata dan Ramayana. Saat pulang seusai pertunjukan anda dapat menikmati perjalanan santai menuju hotel dengan menggunakan andong dokar (delman).

Bagi Anda pecinta sejarah, Museum Sangiran dapat menjadi agenda wisata berikutnya untuk dikunjungi. Museum ini dapat ditempuh dari Solo kurang lebih selama 1 jam dengan menggunakan mobil atau bus. Museum ini memiliki koleksi sejumlah fosil yang ditemukan pada lapisan batu gamping di seputar wilayah Sangiran. Yang menarik dari museum ini adalah ditemukannya fosil dari manusia purba Solo (Homo Soloensis) yang hidup 600.000-150.000 tahun yang lalu. Fosil ini merupakan fosil manusia purba tertua di Indonesia. Selain fosil manusia purba, museum tersebut juga memamerkan koleksi fosil gigi, tanduk, tulang dan gading atau taring. Untuk menambah pengetahuan tentang manusia purba, museum mengajak pengunjung untuk menyaksikan film tentang sejarah asal muasal manusia di Sangiran Theatre.

Dari Sangiran perjalanan dilanjutkan menuju Candi Sukuh yang terletak di kaki gunung Lawu di Karanganyar. Perjalanan dapat ditempuh kurang lebih selama 2 jam. Candi ini sangat khas karena reliefnya sedikit erotis dan tidak sama dengan relief pada candi umumnya di Jawa. Relief pada candi tersebut menceritakan tentang kebaikan dan keburukan di dunia.

Bagi penggemar trekking, anda dapat berjalan mengambil rute dari Candi Sukuh menuju Air Terjun Grojogan Sewu. Air Terjun Grojogan Sewu cukup terkenal dan memiliki pemandangan yang menakjubkan. Trekking melewati perkampungan lokal dengan pemandangan yang indah dan keramahan penduduknya menjadikan liburan lebih menarik. Berpetualang ke Tawang Mangu dapat ditempuh dalam waktu satu jam dari kota Solo dengan menggunakan mobil atau transportasi umum. Angkutan umum ini memiliki harga yang relative murah tidak lebih dari 20 ribu rupiah. Di Tawang Mangu banyak tersedia villa yang disewakan untuk berlibur, dan Anda dapat beristirahat dengan tenang di tengah semilir sejuk udara Tawang Mangu. Selamat berlibur!

Sumber: Blog Sandal Hitam

Read more...

Seperti Mandi di Alam Terbuka

Saturday, October 23, 2010

Seperti Mandi di Alam Terbuka

oleh: Putri Dwimirnani


Foto: iDEA/Richard Salampessy

Mandi di tepi sungai atau di bawah pancuran air pinggir sungai rupanya mengasikkan. Nah, orang perkotaan rupanya ada yang mencoba menerapkannya pada kamar mandi mereka. Ngintip yuk!


Kebiasaan mandi di alam terbuka merupakan tradisi masyarakat pedesaan, antara lain di Bali. Para wanita biasanya mandi di sungai beramai-ramai seraya mencuci pakaian. Tradisi tersebut kemudian banyak diadopsi oleh berbagai resor dan vila, dengan membuat kamar mandi pada setiap kamar yang setengah terbuka. Dalam arti, ruangan dibuat terbuka, namun tetap dibatasi dinding dan dikelilingi tanaman tinggi. Privasi tetap terjaga, namun suasana alam dapat dimasukkan ke dalam ruangan.

Membuat suasana kamar mandi yang benar-benar mirip suasana mandi di pinggir sungai di pedesaan memang agak sulit dilakukan di perkotaan. Salah satu alasannya, orang kota agak malu kalau mandi di alam yang benar-benar terbuka. Sebagai solusi, dibuatlah kamar mandi yang setengah terbuka seperti halnya di vila atau resor tadi. Diharapkan, cara seperti itu dapat menghadirkan suasana alam ke dalam kamar mandi. Caranya antara lain dengan menghadirkan sosok alam dihadirkan hingga mendekat ke area mandi. Dengan demikian, suasana alam itu diharapkan dapat terasa saat penghuninya mandi.

Dalam membuat kamar mandi terbuka seperti ini, perhatikan pemilihan material. Intinya seperti membuat taman dalam rumah, pastikan material yang digunakan tahan air dan mudah dibersihkan. Material seperti batu alam yang diberi coating merupakan pilihan yang sesuai karena batu memang berasal dari alam. Waspadai pula kemungkinan datangnya hujan dengan membuat jarak dari area mandi menuju area terbuka, kira-kira sejauh 60 cm.


Jaga selalu kebersihannya


Seperti halnya kamar mandi umumya, kamar mandi yang terbuka ini perlu selalu dijaga kebersihannya. Boleh jadi, upaya menjaga kebersihannya sedikit lebih berat. Selain perlu menjaga kebersihan area kamar mandinya, tentu perlu dijaga pula kebersihan dan keindahan taman dan tanamannya.Bersihkan pula elemen hardscape yang mungkin ada. Punguti dedaunan yang mungkin rontok. Atau bersihkan lumut pada lantai agar tak mencelakakan. Tentu, taman dan tanaman yang indah dan subur itu lah yang menjadi kelebihan kamar mandi seperti ini. Di sisi lain, taman dan tanaman yang tak terawat bisa membuat kamar mandi terlihat jorok pula.


Sumber: Ideaonline


Read more...

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP